Sabtu, 04 Desember 2010

Aku si Gadis yang Patah Hati


Perasaan ini sudah lama ku pendam, dan terus ku pendam. Semakin aku melihat matanya, semakin aku yakin ada makhluk yang membuatku semakin berdosa. Aku terus memohon kepada sang Penguasa dan terus memohon, agar aku tidak pernah melakukan hal yang membuatku mengatakan ‘cinta itu pahit’. Aku suka hidupku seperti ini, digantung tanpa tali yang membuatku sedikit rapuh. Cinta yang kualami bukanlah cinta yang rumit, melinkan cinta yang tidak berujung. Dia begitu sempurna di hatiku. Namun aku yang begitu tidak sempurna dimata siapapun. Terus saja ku dalami perasaan ini. Hingga saatnya ia mulai menusukku perlahan dari belakang. Namun, aku yakin, bila keyakinanku telah bertamu, pedang yang menusukkupun akan menjadi penghilang perih dari segala kesakitan yang kurasa.

Kadang, aku merasa terlambat untuk mengatakan sepatah kalimat yang bertaksirkan mahligai. Namun aku tahu itu tidak mungkin. Walaupun demi waktu yang kujalani hanya untuknya. Rasa ini terus ku selami hingga aku mulai perlahan tenggelam. Namun aku semakin tak menemukan apa yang tidak ada pada dirinya. Aku yakin rasaku tak pernah salah, dan aku yakin semuanya benar ada pada diriku. Namun aku tak pernah mau menerima kenyataan bahwa ia bukan untukku. Aku bingung, apakah aku harus menyesal dengan adanya rasa “cinta” ini didiriku. Aku berharap cinta suatu saat dapat berubah jadi apapun yang ia mau. Karena orang-orang bilang cinta selalu bisa menyesuaikan diri. Rasa ini terus saja bertambah. Membuatku bagaikan seorang yang hampa tanpa apa yang ingin ku dapatkan.

Tanpa dia, aku merasa aku tak punya apapun di dunia ini. Ia selalu. Ia selau hadir di saat aku mencoba menghilangkan bayangannya. Terus saja semakin kejam ia membunuhku. Membuatku terus ingin berlutut pada siapapun yang ingin menolongku menghapus rasa ini. Untuk bulan dan untuk matahari, aku sungguh mencintainya. Ia meraut seluruh apa yang nuraniku bisa. Aku bagaikan seseorang yang dungu yang terus mengulurkan tangan dan mencoba menggapainya. Namun cintanya belum kudapat telah begitu bersemi dihatiku. Begitu terpaut dengan jantung sumber kehidupanku. Seakan tanpanya aku tak bisa hidup.

Dibalik awan-awan senja ini, aku hanya bisa menikmati sedikit untaian garis-garis indah diwajahnya. Mentari senja harus menjadi saksi ketika aku menjadi orang yang meminta-minta untuk mendapatkan semangkuk sup cinta yang hangat dan kental. Aku terus terperangah, menikmati apa yang bukan menjadi milikku. Sebenarnya aku tak yakin jika kukatakan cintaku padanya sedalam samudra. Karena aku tahu, samudra bukan ukuran untuk bercinta. Dalamnya cinta dapat dirasakan, namun dalamnya samudra tak dapat di rasakan. Malam-malam hanya ku habiskan untuk meyakinkan diriku dengan adanya sedikit rasa cinta untukku. Batinku selalu menghentak ketika aku mulai menutup sedikit mata, “apakah ada sedikit rasa cintanya untukku?”. Aku bagaikan seorang fatwa pujangga yang terus mengarang jawaban-jawaban palsu sebagai obat rasa sakit yang hatiku derita.

Dosa atau tidakkah yang kulakukan, aku tak tahu. Ia sudah begitu merasuki diriku. Aku sadar ia menusukku sedikit demi sedikit dari belakang. Aku hanya bagai orang tolol yang terus rela menunggu dan tak memberikan kepastian kepada orang lain. Mereka mengatakan ini tidak adil. Namun bagiku, rasa yang kurasakan ini jauh lebih menyakitkan dan tak adil. Rasa ini seperti mencabik-cabikku, menghancurkanku perlahan demi perlahan. Aku hanya berharap pada air yang akan ku ukir. Aku tahu hidupku seperti seorang pengembara yang tak tentu arah dan terus mengikuti arah angin. Walaupun akhirnya akulah yang di kendalikan. Bukan aku yang mengendalikan apa yang kumilki.

Aku terus saja menjadi orang bodoh. Hidup terus menerus dalam kebohongan diriku sendiri. Seolah-olah ia ada untukku, namun kenyataanya ia hanya menganggapku bukan apa-apa dalam hidupnya. Ia seperti kapas putih yang tampak tak berdosa, sedangkan aku terus bermimpi bagaikan cermin kusam yang mengambil apa yang ku bisa dari dirinya. Mungkinkah aku yang salah untuk mencintai seseorang. Ia begitu kejam. Selalu mampu membuatku menangis. Setelah aku bertemu dengannya, cintaku terus bernyawa. Namun cintaku tak pernah memiliki raga, sehingga cintaku tak pernah bisa menyentuhnya. Nyata dibenakku bahwa aku adalah orang yang di sakiti, namun aku terus menyimpan wajahnya dan hatinya didalam hati yang tak mengenal kesalahan ini. Harapan-harapanku sedikit kukuatkan dengan sebuah kalimat lagu yang menyatakan bahwa ‘Cinta harus berkorban walau harus menunggu selamanya’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar